#FlashBack

“ … Jalan hidup seseorang siapa yang tahu …”

Waktu beberapa hari yang lalu di twitter orang-orang asyik ber-tweet ria mengenang masa lalu mereka dengan hashtag #FlashBack. Hmm seru juga yaa kalau gw ikut mengenang kembali kejadian-kejadian yang gw alami 3 tahun belakangan ini—tepatnya setelah gw lulus SMA. Ga ditwitter, gw coba menuangkannya lewat blog ini.

Sedari gw duduk di bangku SMP, gw punya cita-cita ingin menjadi seorang jurnalis olahraga—khususnya sepak bola. Niat pertamanya sih karena gw ingin bertemu bintang-bintang sepak bola idola gw. Yang kedua adalah karena gw ingin menghindar hal-hal yang berbau hitungan. Jujur hitungan gw agak ‘lemah’. Maka saat SMA kelas 3 gw sudah mulai hunting universitas—baik swasta maupun negeri—yang memiliki jurusan jurnalistik atau yang berhubungan dengan itu.

Setelah proses pencarian tersebut, gw diterima kuliah di Program Keahlian (PK) Komunikasi di Diploma IPB melalui jalur rapor (USMI). Aiiih betapa senangnya gw! Jalan menjadi seorang jurnalistik selangkah lagi akan gw gapai.

Namun apa yang terjadi sama gw? Cita-cita yang telah gw rajut bertahun-tahun buyar hanya dalam waktu hitungan jam. Ceritanya begini …… Pada saat daftar ulang penerimaan mahasiswa baru, gw—dan tentunya mahasiswa baru lainnya—mesti menghadap Ketua Program Keahlian (KPK) masing-masing. Di situlah sang KPK meng-underestimate diri gw karena melihat kekurangan (fisik) gw. Gw pun diberondong dengan sederet pertanyaan yang kurang lebih seperti ini:

“Kamu serius mau mengambil PK Komunikasi?”

“PK ini lebih banyak praktek menggunakan alat-alat berat seperti kamera. Apa kamu kuat mengangkat kamera?”

Kemudian tuh KPK memberi gw kamera yang biasa dipakai oleh wartawan. Sang KPK meminta gw mengangkat kamera yang beratnya segede gaban. Dan tentunya gw ga bisa mengangkatnya.

Orang yang kuliah mengambil jurusan komunikasi berarti dia harus pandai bercakap. Tidak dengan gw! Gw speechless direntetin pertanyaan-pertanyaan itu. Meski akhirnya gw mencoba untuk beragumen. Tetap gw kalah.

Finally, sang KPK meminta gw untuk pindah PK. Dibantu oleh Wakil Direktur II (yang turut menyarankan gw untuk pindah), gw diberikan beberapa opsi PK lain. Akhirnya gw minta izin pulang agar bisa dirundingkan dengan keluarga gw.

Pada saat di rumah, gw ceritakan kembali apa yang gw alami hari itu. Keluarga gw hanya bisa pasrah dan kemudian memberikan pilihan PK apa yang cocok buat gw. Hingga akhirnya kakak laki-laki gw memilih Akuntansi sebagai PK yang pas. Alasannya simple karena PK ini ga meminta gw untuk melakukan hal-hal yang berhubungan dengan fisik.

HAH?! Akuntansi??? Makhluk apa itu?? Sumpah selepas SMA gw pingin ngambil jurusan yang ga berbau matematika. GW BENCI ITUNGAN!!! Huffth ga ada pilihan lagi mau ga mau gw mesti ambil PK itu *sigh*.

Ada sebuah ungkapan klise: Manusia hanya bisa berencana, Tuhan-lah yang menentukan. Ungkapan itu yang kini gw rasakan sekarang.

Meski gw terus didera “ketidakikhlasan” selama beberapa pekan pertama gw kuliah (bahkan gw sempat nangis lho, heee …) tapi gw mesti bangkit. Gw mesti menunjukkan diri kalau gw bisa apapun dan bagaimanapun kondisi yang gw hadapi.

Belajar dan terus belajar itulah keseharian gw (yang anehnya jarang gw lakukan saat SD-SMA, hee ..). Mungkin bisa saja gw dijulukin Studyholic karena kelakuan gw itu. Toh pada akhirnya, Alhamdulillah, semua terbayar. Setahun lalu gw dipilih menjadi Mahasiswa Terbaik PK Akuntansi dalam ajang Diploma Awards. Pun pada saat wisuda gw berhasil meraih predikat cumlaude.

Saat prosesi wisuda selesai dan para petinggi IPB meninggalkan ruangan, sejurus kemudian sang Wakil Direktur II menepuk bahu gw sambil tersenyum.